Memulai Hidup Baru Sebagai Solusi? Pikir Lagi.

Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman yang saya rasa tidak bahagia dengan pekerjaan yang ia jalani saat ini. Awalnya dipicu oleh sebuah pernyataannya, “pengen cabut dah, capek gua sama rutinitas.”

hmm menarik saya bilang, lalu saya mengajukan pertanyaan, “Di luar permasalahan pelik soal pandemi, kalo semisalkan gua bisa kasih lu satu tiket pergi–pergi doang ya– ke luar negeri atau ke tempat manapun yang lu pengen sekarang dan mulai hidup baru lu di sana, lu ambil ga?”

“Ya ambil lah, pake nanya, gua pengen ke Jepang, Paris atau Swiss deh.”
“Yakin? ga mau pikir-pikir lagi?”

Sebagai orang yang dulu juga seringkali ga bahagia sama pekerjaan, saya rasa perlu menyelamatkan teman dengan membuka caranya berpikir.

Kenapa?

Ketika dihadapkan sama rutinitas, apalagi yang ngebosenin kadang kita lupa caranya bersyukur. Klise, memang. Tapi ketika coba dipikir lagi; bangun tidur, berangkat kerja, kerja, pulang kerja, tidur lagi, gitu aja terus tiap hari. Belum lagi di jalan pulang-pergi macet-macetan dan segala macam kejadian peliknya. Belum lagi masalah di kantor, belum lagi masalah di rumah. Capek.

Satu-satunya hal yang bisa dinikmati, mungkin weekend, itu pun belum tentu weekend-nya sesuai dengan apa yang direncanakan. Tetep ketemu senin lagi, kerja lagi.

Dan lagi-lagi bilang, “I hate Mondays.”

Di sela-sela rutinitas, otak udah ga jernih, udah gak mindfulnes. Ditambah segala kepalsuan di sosial media. Mulai ke-trigger, karena ngeliat pencapaian teman, mulai ngebayangin sesuatu yang dirasa menarik, yang diharap bisa jadi pelarian atau bahkan solusi dari rutinitas. Beli barang baru, atau gadget baru, traveling barangkali. Hal-hal yang sekarang banyak disebut-sebut sebagai Self-Love, Self-Care, Self Reward you name it.

Lagi-lagi dengan keadaan kayak gitu, kita jadi kurang bersyukur. Klise.

Balik ke awal perbincangan saya dan teman soal rutinitas.

Saya inget waktu itu pernah baca artikel di medium tentang ini, https://medium.com/personal-growth/travel-is-no-cure-for-the-mind-e449d3109d71 saya suka penjelasannya, dan sebagian besar yang saya tulis sekarang adalah apa yang saya tangkep dari artikel tersebut.

Rutinitas, anggaplah sebagai The Box of Daily Experience, yang di dalamnya terus muter kegiatan sehari-hari. Di luar box, adalah sesuatu yang diimpikan; barang baru, gadget baru, traveling dan segala macam hal-hal yang dianggap menarik. Termasuk sesuatu yang saya tawarkan kepada teman saya ini.

Ketika saya tawarkan teman untuk memulai hidup baru, bukankah menarik? Sudah pasti. Tapi cuma di awal, jangan ketipu.

Memulai hidup baru sama aja dengan mengganti rutinitas baru, yang pada akhirnya jadi rutinitas yang mumet lagi. Kita cuma mengganti isi dari The Box of Daily Experience dengan isi-isi yang baru yang tetep aja pada akhirnya berujung muter-muter di dalam lagi.

Awalnya excited, memang. Tapi lama-kelamaan tetep jadi sesuatu yang biasa lagi.

Pernah kan beli barang baru atau gadget baru? Berapa lama periode excited dengan barang baru itu? Paling juga sebulan, atau seminggu aja ga nyampe kadang.

Terus apa?

Benang merahnya kan cuma satu, He’s not happy or We’re not happy–kalo ada juga yang lagi ga puas sama hidupnya sekarang.

Saya jadi inget perkataan David Steindl-Rast yang beberapa waktu lalu saya nonton videonya di kanal You Tube Tedtalk.

Kurang lebih dia bilang, “What is the connection between happiness and gratefulness? Is that happiness makes us grateful, or gratefulness makes us happy? If you say happiness makes us grateful, think again.”

Kalo kita bilang bahagia bikin kita bersyukur, pikir lagi.

Islam udah lebih jauh dan lebih banyak bahas tentang ini, salah satunya di QS Ibrahim Ayat 7; Jika bersyukur, akan ditambah nikmatnya.

Kalo saya bilang nikmat adalah bahagia, ga salah kan?

Jadi jelas sampe sini, kita ga perlu ganti apapun yang ada di dalam Box of daily experience. Ga perlu pindah dan memulai hidup baru di tempat baru. Percuma.

Yang perlu diganti adalah the way we think. Yang perlu diganti adalah cara kita memandang dan menyerap sesuatu.

Dan paling penting, cara kita bersyukur.

Kalo udah bersyukur, setidaknya kita menerima apa yang udah kita dapet sekarang, dan saya pikir mengurangi kadar stress yang bikin kita ga puas sama hidup saat ini.

Bahkan bisa lebih aware sama hal-hal kecil yang terjadi dan itu bikin bahagia. Ga perlu lah Self-Care atau Self-Love yang nantinya malah bikin Self-Destruct karena merelakan kepentingan jangka panjang untuk kebahagiaan sesaat.

Saya bukan orang yang udah bener-bener bersyukur apa yang udah saya dapet, at least dengan ini bisa jadi pengingat kalo sewaktu-waktu saya mulai ke luar jalur dan ga bersyukur lagi.

Lalu saya tanya lagi temen saya ini, “Yakin? Ga mau pikir-pikir lagi?”

Dia jawab, “Ya kalo gua udah lebih bersyukur boleh lah ya lu kasih beneran. Haha.”

Ya Kalo gini sih saya yang harus pikir-pikir lagi.

😀

Certeza

Your sense of humor were akin to mine

Kaubilang,
mataku
lima baris kembang peoni yang belum mekar

But somehow we’ve grown

kelopaknya sudah berjatuhan penyesalan memungutnya sambil sesekali bertanya, — kata-katamu di mana?

you never had to stay,
what took you so long to decide?

– inspired by some verses of I Believe in You‘s lyric – Elephant Kind.

Poris, 2020.

Kerjaan yang Enak itu Kayak Gimana?

http://edwardsuhadi.com/2017/01/09/buat-bos-dan-belum-bos-apa-yang-dicari-orang-dalam-sebuah-pekerjaan/

“Udah senen lagi aja nih?”
“I hate monday.”
“Another week, same story.”

As an officer, seringkali saya ngucap begitu, rasanya males banget kerja, benci sama kerjaan sendiri padahal—katanya—itu passion yang selama ini dicari-cari, nyatanya sama aja ga lebih dari sekadar rutinitas ngeselin. Setelah baca tulisan Om Edward, saya lumayan tercerahkan tentang apa sih yang dicari orang dalam sebuah pekerjaan, gimana sih kerjaan yang enak?. Here’s i summarize the keypoints:

1. Kebebasan (Otonomy) Bebas dalam hal berkarya pastinya. Bebas improvisasi ga terus menerus diawasi, yang penting tetep on track. Dikasih ruang, waktu dan paling penting dikasih kepercayaan.

2. Ruang untuk bertumbuh (Growth) Disediakan ruang bertumbuh, dikasih kesempatan eksplor dan belajar hal-hal baru, belajar mecahin masalah, lebih seru ketimbang ngerjain sesuatu yang berulang tiap harinya.

3. Penghargaan (Recognition) Orang sudah barang tentu mau banget dihargai, manusiawi. But, in the case of professional life, ‘recognition comes with cash and bonus’. Rewadnya asik, bonusnya asik, asli dah betah anak buah. 😀

Tulisan ini bukan buat bos-bos aja sebenernya, buat anak buah biar ga terus-terusan benci sama kerjaannya. Saya bukan bos, masih anak buah.

Belom jadi bos belajar aja dulu buat ngasih keypoints itu ke diri sendiri.

Semoga terbiasa membiasakan.

Masih banyak point penting, langsung aja klik link-nya biar pahamnya ga cuma setengah kayak saya.

😀

Lu Masih Bego, Masih Belum Pantes, Gih Belajar Lagi.

Memasuki waktu dini hari lewat overthink, gua iseng bacain lagi tulisan-tulisan lama, lalu gua berenti scroll dan mikir agak lama pas nemu postingan ini :

“Kerjaan yang ga ketemu orang tapi gajinya gede paan ye? pengen dah gua. Wkwk”.

Cukup banyak teman onlenku di sini (tumblr, actually) yang merespon unggahan iseng gua itu wkwk.

Sekarang, udah sebulan lebih gua masuk kantor lagi, not really ke kantor, karena emang WFH; presentasi, meeting, brainstorming semua onlen. Ketemu temen yang supportive, bos baek bener, ya seenggaknya itu testimoni gua selama sebulan, semoga seterusnya sih. Kalo dipikir-pikir tulisan gua itu terkabul, kerja ga ketemu orang. Hahaha.

But, that’s not the point.

Setelah gua inget-inget, waktu itu gua unggah tulisan tersebut pertengahan tahun kerja sendiri. Hampir burnout, karena —siklusnya— bangun tidur kerja, agak siangan ke proyek cek kerjaan tukang, ketemu klien lagi, ketemu kontraktor lagi, cari vendor lagi, gitu aja terus, gaada rehat. Kurang me time, kurang liburan. Capek ketemu orang.

Tapi-tapi, bukannya itu yang lu pengen dulu sebelum cabut dari kantor? Jalanin usaha sendiri?

Yea i did, but, setelah hampir setahun jalanin, I need to review, i need to recap my last year. Is that the job i wanted? Is that my Ikigai? gua rasa engga, entahlah.

Gua inget GaryVee pernah nulis, You don’t have to make a FINAL DECISIONS at 22… Just make a few assumptions. Ternyata setahun itu cuma sebagian kecil dari asumsi gua aja. And that’s okay, i make an assumption, ga nyesel udah nyoba, i enjoy the process. At least, i’ve tried to unlock my potential dari situasi-situasi rumit. Gua banyak belajar.

Dan gua nemu kesimpulan; Do not quit your job untill you are skill enough to make your side hustle your main bussiness. And im not ready yet. Do not quit your job untill your side income covers twice as much as your monthly expenses. And im not ready yet. Do not quit your job untill you don’t make any excuse. And i make many excuse at every single things.

And i am not ready yet.

Terus, apa sekarang?

Karena iseng apply kerjaan, keterima, dan udah kerja sebulanan, u know what to do, bersyukur lagi, belajar lagi, explore lagi. Berada di team yang cukup asik, this is the right time to do extra miles, to contribute more, at least to get better version of diri sendiri. Ga ngapa menurunkan idealis dikit. Sedikit mundur buat kecemplung lebih dalem lagi.

Ngantor lagi tuh UUD sih, Ujung-ujungnya duit lagi, punya financial security dulu biar bisa punya kebebasan buat ngide dan eksekusi sesuatu lebih banyak lagi. 😀

Kalo udah reach that financial security level, jangan ngerasa pantes dulu.

u have to learn even more, masi banyak tahapan lain.

Gih belajar lagi.

Senin pagi,
setelah kupakai masker, mengikat tali sepatu dan mengunci pintu
beragam suara dari rumah-rumah tetangga
mengaburkan kata-kata
yang kuucap di malam akhir pekan lalu

Hari-hari pucat kembali
        sebenarnya apa yang kita cari?

2020.

mimpiku jatuh di langit
bintang-bintang saling menyingkir,
barangkali saling mencibir

Apa karena tempat tidurku tidak tinggi,
doaku terlalu redup
lalu kemudian ia hanya pantas berpendar di langit-langit?

2020.

Seorang perempuan berujar
Tuhan sedang berpuisi sore itu
lewat hujan deras yang menguarkan petrichor

Pagi buta ini
Tuhan bersajak lagi
lewat derau dari mata seorang lelaki
yang belum tidur sama sekali

2020.

Pesan Yang Tak Pernah Tuntas

Nol dua empat belas. Online
Tanda baca,
tanda terbaca
dan hal-hal yang tak terduga.
Sering

Beberapa potong pesan panjang tanpa jeda
cepat terbalas
Typing…

Hari tetap mengedipkan mata;
memejam, terbuka dengan perasaan kantuk
Dan kita masih saja kikuk,
cemas
bahkan takut
entah karena apa

2020.